Rabu, 03 Juli 2013

Kisah Nyata Lia, Si Gadis Pemulung

Gadis 12 tahun ini harus rela kehilangan masa kanak-kanaknya.

Lia, gadis 12 tahun ini harus rela kehilangan masa kanak-kanaknya yang penuh dengan sorak sorai permainan. Kondisi perekonomian keluarga yang kurang baik memaksa Lia berfikir dewasa lalu  bekerja membantu kedua orang tuanya sambil sekolah.
Ayah Lia bekerja sebagai penjaja keliling cuangki, sedang sang ibu membantu mempersiapkan cuangki di rumah dan mengurusi  kebutuhan sehari-hari  9 anak mereka. Mereka tinggal di sebuah rumah bilik yang hampir roboh, lantai pelupuh bambunya sudah miring, atap dan genteng nya pun sudah tak sempurna. Tak terbayang bagaimana caranya ada 9 orang manusia yang tinggal dalam sebuah rumah reot berukuran 6x4 m2, ditambah dengan sebagian ruangan juga terpakai oleh gerobak cuangki dan beberapa bahan untuk berjualan.
tak semua yang tinggal di rumah itu sehat, anak pertama dari keluarga ini malah menderita komplikasi penyakit. gadis 18 tahun ini jatuh sakit sejak kelahiran putra pertama nya 4 tahun silam. Ia menikah pada usia 13 tahun dengan seorang bapak  berusia 55 tahun yang bekerja sebagai tukang pencari ulat pohon bambu.
Lia membantu perekonomian keluarga dengan menjadi buruh cuci di rumah tetangga, selain itu Sepulang sekolah Lia bersama Indra (13 tahun) dan Heran (14 tahun) turun ke lorong-lorong sungai untuk memulung kayu dan limbah-limbah plastik, dari hasil usahanya heran, indra dan lia bisa mendapatkan masing-masing 5.000 setiap harinya.

Siang itu saya berkunjung ke rumah mereka. nampak sang ibu tengah mempersiapkan cuangki untuk berjualan, di halaman rumah nampak lia dan Heran tengah bersiap pergi memulung. Dengan sigap sayapun meminta izin untuk ikut. Awalnya mereka melarang karena jalur yang akan di tempuh cukup berat, tapi akhirnya karena memaksa saya di izinkan ikut ke tempat mereka memulung.

Kami berjalan menyusuri  jalanan kampung sampai akhirnya terdengar suara aliran sungai, tapi sungainya tak terlihat. Heran menghentikan langkahnya di ikuti Lia, ia menoleh ke arah saya dan kembali bertanya “ kaka beneran mau ikut? Tempatnya di gorong-gorong sungai, disana”katanya sambil menunjuk ke rimbun pepohonan. Saya tersenyum sambil mengangguk, kamipun melanjutkan perjalanan.
Kami  menuruni  jalan setapak menuju sungai  lalu masuk ke gorong-gorong.  Gorong-gorong adalah Bagian Sungai yang sempit dengan dinding tanah yang tinggi di kanan kiri, lalu pepohonan liar rimbun menutupi bagian atasnya. Kami terus melangkah, membiarkan kaki basah masuk ke aliran sungai. Sepi, tak ada siapa-siapa lagi selain kami, Lalu Heran dan Lia pun memulai aksinya, dengan golok Heran mulai memotong satu demi satu kayu yang bisa di ambil sedangkan Lia memunguti  gelas-gelas plastik serta kayu yang menyangkut di beberapa bagian sungai.

Pencarian di sungai hari itu terpaksa di hentikan, padahal menurut Heran kayu yang berhasil dia kumpulkan baru sedikit sekali di bandingkan biasanya. Apa daya saya harus segera meluncur menuju rumah teh Ima, pasien dhuafa kampus peduli yang kisah nya sempat di tulis di notes “missi dua Nyawa kampus peduli”.
Selamat datang Lia, Indra dan Heran di Pondok Prestatif Indonesia. Mari ukir karyamu, gapai cita-citamu bersama keluarga besar Kampus Peduli J



0 komentar:

Posting Komentar